Sebelum “Mengubah” Orang Lain, Ubahlah Diri Sendiri Dahulu
Refleksi Retret Pengendapan Pengalaman Tahun Orientasi Pastoral 2023—2024.

Kesempatan retret adalah rahmat dan privilese yang selalu saya syukuri sebagai seorang calon imam diosesan KAJ. Retret memberi kesempatan untuk meninjau segala pengalaman yang lampau. Ia juga menjadi kesempatan berefleksi untuk mempersiapkan visi yang perlu bagi langkah ke depannya di bawah bimbingan terang Roh Tuhan.
Selama seminggu, angkatan saya menjalani retret bertema “Menuju Gembala Baik dan Murah Hati: Makin Berdoa, Makin Matang, dan Makin Melayani.” Melalui aneka sesi Rm. Kornelius Maro, SVD, saya tersentuh dengan tiga pembahasan.
Pembahasan menarik pertama ialah menjadi imam harus unggul dalam berbagai teladan atau keutamaan hidup. Rm. Maro mengambil inspirasi dari dekrit pembinaan calon imam Optatam Totius (OT) art. 11 dan 1 Ptr. 5:1—4. Dalam penggalan surat Petrus tersebut, peran dan tanggung jawab yang dijalankan penatua jemaat ternyata agak mirip dengan aneka tanggung jawab para imam saat ini. Mereka sama-sama menjalankan pelayanan dengan aneka privilese kehormatan dan memperoleh honorarium sebagai ungkapan syukur pelayanan. Pun begitu, Petrus menyampaikan beberapa pesan, yakni gembalakanlah domba-domba Allah yang dipercayakan pada para penatua jemaat, teladanilah Yesus sebagai gembala baik, hadirkanlah Allah melalui hidup sebagai in persona Christi, utamakan pelayanan (bukannya demi keuntungan diri), dan hindari kesewenangan (abuse of power). Pesan Petrus ini membawa konsekuensi bahwa aku harus menjadi imam yang memiliki aneka keutamaan. Keutamaan dari diriku yang perlu diasah ialah mengembangkan kualitas hidup rohani, bertekun setia pada hal-hal kecil, dan disiplin waktu. Saya menyadari bahwa menjadi gembala jemaat berarti memiliki “kuasa” untuk mengarahkan dan membimbing orang lain. Oleh karenanya, saya rasa sebelum “mengubah” orang lain, saya sendiri harus diubah atau di-upgrade lebih dahulu.
Bahasan menarik kedua ialah menghidupi ketiga nasihat injili dengan sukacita. Pembahasan dari Rm. Maro menyegarkan kembali tiga janji yang dihidupi imam diosesan. Hal yang cukup baru untuk saya pribadi dari pemaparan beliau ialah selibat harus disyukuri sebagai kurnia ilahi atas kodrat manusiawi. Sebagai kurnia, ia harus selalu dimohonkan dari Tuhan dengan segala rendah hati kita. Hal baru lainnya ialah empat model kemiskinan. Dalam refleksi personal atas ketiga nasihat injili, saya merasa cukup sulit untuk berkanjang sungguh dalam ketaatan. Alasannya ialah kecenderungan saya untuk menganggap gampang tugas perutusan. Saya juga condong meremehkan suatu pesan dan amanat perutusan jika saya tidak menemukan dasar yang masuk akal untuk menjalankannya. Saya sadar adanya kecenderungan arogan. Saya selalu berusaha mohon bimbingan Roh Tuhan agar bisa lebih melihat Tuhan dalam diri pimpinan yang mengutus saya. Lalu terkait selibat, saya merasa pentingnya kesadaran untuk tidak mudah mengobjektifikasi dan merendahkan perempuan. Pun demikian, perjuangan saya untuk sungguh berkanjang dalam ketiga nasihat Injili ini kiranya selalu disertai dan disempurnakan Roh Kudus.
Pembahasan ketiga ialah teladan pelayanan dari Orang Samaria yang baik selalu menginspirasi pelayanan dan karya amal kasih. Rm. Maro mengambil inspirasi dari ensiklik Fratelli Tutti dan Luk. 10:29—37. Ada dua poin permenungan menarik untuk saya. Pertama, beriman tidak serta merta melakukan kehendak Tuhan. Kedua ialah Orang Samaria tidak mengharapkan ucapan terima kasih atas bantuan darinya. Ketiga ialah Gereja seyogianya berusaha ambil bagian dalam usaha menjawab kebutuhan dan tantangan sosial kemasyarakatan. Ini semua perlu diambil sebagai cara Gereja mengaplikasikan pesan Injil.
Berdasarkan pengalaman retret, ada tiga pembaruan komitmen transformatif saya dalam formatio ke depannya. Komitmen Pertama ialah saya berusaha hadir 15—10 menit sebelum kegiatan komunal diadakan. Kedua ialah menggunakan kecerdasan dan kepandaian saya untuk berkontribusi secara baik untuk hidup bersama. Komitmen ketiga ialah selalu mengupayakan pentingnya bagaimana hidup saya memancarkan kesaksian dari pilihan jalan hidup dan kepercayaan saya. Kesaksian ini berpangkal pada tiga nasihat injili dan keutamaan Yesus sang gembala baik.
Pada akhirnya, saya membangun gambaran imam diosesan yang baik dan murah hati versi saya dengan empat hal berikut. Pertama ialah ia harus menampakkan otentisitas dan bahagianya hidup seturut tiga nasihat injili. Kedua ialah tidak narsis dan egois. Atas poin kedua ini, saya memiliki kepedulian yang cukup mendesak dan ingin mendalaminya dalam riset tesis S2 saya. Sasarannya ialah terkait dengan analisis meminimalisir narsisisme sejak level formatio. Ketiga ialah ia harus siap sedia untuk aneka pastoral yang dipercayakan demi bertumbuhkembangnya domba-domba Tuhan. Terakhir ialah ia harus mencerminkan aneka keutamaan Yesus sang gembala.

